Kamis, 18 Februari 2016

Underwater Welding

Saat ini sudah banyak sekali ditemukan struktur lepas pantai, pipeline, dan platform yang diinstalasi di laut dalam. Beberapa dari struktur tersebut tentu akan mengalamifailure. Belum ada pekerjaan yang sempurna dalam hal ini, pasti ada saja kekurangannya. Perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan tersebut terkadang membutuhkan metode underwater welding, atau pengelasan di bawah laut.
Underwater welding oleh diver.
sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Hyperbaric_welding#mediaviewer/File:Working_Diver_01.jpg
Begitu perihal underwater welding ini dibahas, sering kali timbul pertanyaan “Mengapa kami harus mempertimbangkan menggunakan metode underwater welding?” jawabannya adalah “Mengapa tidak?”
Memang benar, bahwa metode ini belum terlalu umum, membutuhkan teknik yang cukup tinggi, perencanaan yang detail, dan ketersediaan tenaga kerja yang memiliki skill tinggi. Meskipun demikian, teknik ini masih mungkin untuk diterapkan.
Bila permasalahan tersebut dianalisis lebih lanjut, tidak ada alasan kuat untuk tidak menggunakan metode ini, terutama jika kerugian produksi akibat pekerjaan perbaikan sangat vital. Underwater welding membutuhkan kemampuan khusus dalam teknik pengelasan, ditambah dengan kemampuan diving/menyelam yang baik, yang berarti hal ini lebih spesifik dibanding kemampuan seorang diver biasa. Underwater welding dapat mengurangi kerugian waktu bagi perusahaan karena pekerjaan perbaikan langsung dilakukan di lokasi (on-location).
Underwater welding dapat menjadi pekerjaan yang sangat berbahaya bila tindakan pencegahan tidak dilakukan. Risiko utama dari pekerjaan ini adalah kejutan/tersetrum listrik dan ledakan akibat produksi campuran hydrogen dan oksigen (arc mixtures) di dalam kantong sang diver. Risiko lainnya adalah terhirupnya nitrogen masuk ke dalam saluran pernapasan, yang mana cukup berbahaya bagi tubuh. Uniknya, risiko tenggelam tidak dipertimbangkan karena hal tersebutlah yang menjadi syarat utama dalam pekerjaan seorang diver.
Jumlah penyelaman, pengulangan penyelaman berkali-kali, kedalaman operasi pekerjaan, waktu yang dihabiskan di dalam air, dan kelelahan dalam mengerjakan operasi perbaikan tertentu dapat meningkatkan risiko pekerjaan ini. Beberapa peralatan darurat harus disiapkan, seperti suplai udara atau gas darurat, diver lain yang stand-by di lokasi, dan decompression chamber.  Prosedur kesehatan dan keselamatan bagi sang diver diatur dalam aturan yang sangat ketat.
Durasi seorang diver di dalam air dikendalikan dengan mengguakan saturation diving chambers dan periode istirahat yang rutin selama pekerjaan berlangsung. Inspeksi terhadap lasan bawah air sangat sulit dan rumit dibanding lasan di permukaan (darat). Namun, karena hal tersebut merupakan satu-satunya metode control pada lasan, hal ini selalu dilakukan dengan baik. Lasan tersebut diinspeksi secara hati-hati untuk memastikan tidak ada cacat yangterjadi.
Terdapat beberapa sekolah khusus untuk memelajari underwater welding, salah satunya terdapat di Australia, untuk melatih diver komersial biasa menjadi seorang diver-welder.
Ada dua macam proses underwater welding yang sudah cukup berkembang, yaitu pengelasan di lingkungan basah (wet welding) dan di lingkungan kering (dry welding).
Dry welding di dalam chamber kedap air.
sumber: http://dcndiving.com/projects/hyperbaric-repair-subsea-gas-pipeline-romania/
Mengerjakan underwater welding memberikan beberapa keuntungan. Pertama, tidak perlu untuk mengangkat struktur yang mengalami kerusakan ke permukaan air untuk dilakukan pekerjaan perbaikan. Pada kenyataannya pun banyak struktur, seperti bor minyak dan badan kapal yang perlu segera diperbaiki di dalam air.
Pada jaman dahulu, pekerjaan underwater welding hanya dilakukan sebagai tindakan pencegahan sementara, sebelum nanti diperbaiki secara permanen begitu struktur tiba di bengkel di darat. Contohnya adalah mengelas plat pada badan kapal. Seiring dengan bertambahnya pengalaman, dan semakin ambisiusnya individu-individu dan perusahaan, pekerjaan wet welding ini menjadi mulai umum dilakukan.
Teknik wet welding yang umum digunakan saat ini adalah shielded metal arc welding (SMAW), lebih dikenal sebagai stick welding. Perbedaan SMAW di baah air dengan di darat adalah pada wet welding hanya menggunakan arus DC saja.
Akhir kata, beberapa Engineer Diver mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman mereka, cacat yang ditemukan pada subsea pipeline dapat diperbaiki secara permanen dengan menggunakan teknologi underwater welding karena lebih aman, cepat, dan ekonomis dibanding metode alternative lainnya.

Sumber:


Fatigue Freespan Analysis

Salah satu mode pengangkutan gas bumi yang paling banyak digunakan adalah pipeline. Jalur pipa laut atau yang biasa disebut Offshore pipeline sendiri juga memiliki kriteria dan karakteristik hingga pipeline tersebut menjadi rusak. Analisa yang dilakukan terhadap offshore pipeline dilakukan pada pipa yang mengalami free span. Salah satu penyebab kerusakan pipa adalah karena stress yang dialami pipa secara berulang sehingga mengalami kelelahan.

Metode perhitungan yang digunakan untuk menentukan kelelahan pada pipeline, menggunakan kode standart Det Norske Veritas (DNV). Penentuan analisa kelelahan ini dapat dilakukan dengan jalan mengetahui terlebih dahulu beban serta stress yang dialami pipa sehingga dapat ditentukan nilai kelelahan pada jalur pipa tersebut. Berdasarkan nilai kelelahan tersebut, dapat diestimasikan sisa waktu operasi pipa karena stress yang diterima secara kontinyu dalam kurun waktu tertentu. Sejalan dengan hal itu, juga dilakukan permodelan terhadap segmen pipa yang tidak lolos seleksi kriteria berdasarkan standart DNV serta memiliki panjang dan kedalaman free span terpanjang. Pemodelan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan langkah mitigasi risiko agar pipa tidak mengalami kerusakan karena free span.
Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut:
image
image
image
image

Sehingga didapatka hasil, sebagai berikut
Critical Pipespan – due to Dynamic Loading Lcr  = 83.343 ft
Critical Pipespan – due to Static Loading Lcrit(L) = 164.042 ft
sumber:
 Analisa Kelelahan Free Span Pada Jalur Pipa Gas Bawah Laut East Java Gas Pipeline (Ejgp) Dengan Pendekatan Finite Element Method (Fem), ITS

Fitness for Service (FFS)

Fitness for Service (FFS) adalah kemampuan suatu sistem atau komponen, dalam hal ini adalah pipeline beserta bagian-bagiannya, untuk menyediakan service yang berkelanjutan, dalam regulasi keamanan dan keselamatan yang telah ditetapkan, hingga akhir periode operasional atau inspeksi terjadwal berikutnya.
FFS merupakan pendekatan yang telah diterima oleh banyak pihak dalam mengevaluasi cacat yang dapat membahayakan integritas suatu peralatan, termasuk pipeline, untuk diperkirakan apakah operasional alat tersebut dapat dilanjutkan atau tidak. FFS mengandalkan pendekatan dari banyak bidang (multi-disisplin) untuk membentuk suatu analisis yang akurat. Output yang dihasilkan oleh FFS adalah go or no-go decision.
Pada pipeline, evaluasi FFS membutuhkan review terhadap performance di masa lalu, dan beberapa hal lainnya, untuk mengidentifikasi ancaman yang telah dan akan mengancam keberlangsungan operasi pipeline tersebut. Analisis teknis, seperti analisis tegangan dan mekanika retakan dilakukan untuk mengevaluasi ancaman yang berhubungan dengan cacat fisik. Contohnya adalah metal loss, crack, dents, deformations, dan outside/dynamicloads.
Operator pipeline bertanggung jawab untuk melakukan FFS yang terjadwal dan memastikan bahwa fasilitas yang mereka miliki masih dapat beroperasi sesuai tujuan dan tidak membahayakan orang lain. Inspeksi yang umum dilakukan pada FFS pipeline, antara lain:
  • In-line Inspection (ILI), menggunakan prinsip Magnetic Flux Leakage (MFL) untuk mengidentifikasi metal loss pada pipeline.
  • High-resolutions Geometry Sensors, untuk mengidentifikasi deformasi pada pipeline.
Umumnya, FFS memrediksi apakah pipa masih dapat bertahan bila diberi tekanan 1.25Maximum Allowable Operating Pressure atau tidak. Simulasi pada FFS biasa menggunakan software-software khusus, seperti ABAQUS yang mampu melakukan simulasi dengan prinsip Finite Element Analysis.
Berikut adalah beberapa contoh kasus pada pipeline yang menggunakan FFS dalam analisisnya:
  • Pigging, termasuk ke dalam kategori ILI, dilakukan terhadap pipa bawah laut untuk mengetahui apakah ada buckle di sepanjang jalur pipa tersebut. Bila ada, FFS dilakukan untuk memutuskan apakah pipa tersebut harus diganti atau tidak.
  • Nondestructive Evaluation (NDE) terhadap pipa yang terkespos dilakukan untuk mengetahui kekuatan yang masih dimiliki oleh pipa tersebut. Hasil dari FFS digunakan untuk memutuskan apakah pipa tersebut perlu dikubur atau tidak.
Karena FFS terdiri dari beberap bidang analisis dan tahapan-tahapan, maka FFS membutuhkan waktu yang cukup agar dapat memberikan hasil yang optimal mengenai pengaruh kerusakan pada pipeline, dan langkah peneyelesaian yang harus diambil oleh operator.


PIM : Pipeline Integrity Management

Penggunaan jaringan pipa dalam industry minyak dan gas saat ini sudah sangat meluas. Ratusan ribu kilometer pipa telah digelar di dunia, baik di darat, maupun di laut. Pipa menjadi asset yang sangat berharga bagi para owner atau operator pipa. Sedikit kerusakan dapat memicu kejadian yang lebih besar, yang tentu akan mengancam keberadaan dan operasional pipa, serta keselamatan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu  sistem perawatan yang memonitor keberlangsungan operasional pipa agar dapat bekerja dengan seharusnya dan  tidak membahayakan lingkungan sekitar.
Pipeline Integrity Management (PIM) merupakan cara yang dilakukan oleh para operator dalam menjamin kualitas pipa yang mereka miliki. PIM dapat diartikan sebagai “sebuah sistem untuk menjamin sebuah jaringan pipa dapat beroperasi dengan aman (safe), dapat diandalkan (reliable), dan berkelanjutan (sustainable).”
Berbagai permasalahan dapat timbul pada pipa, misalnya retak, buckle, dan korosi. Hal-hal tersebut sangat membahayakan pipa karena dapat memicu bengkok pada pipa, timbul lubang, kebocoran, hingga ledakan. Pelaksanaan inspeksi secara rutin dapat menghindari kejadian yang lebih buruk melalui pencegahan sejak dini. PIM akan memastikan pipa masih terintegrasi secara utuh sesuai dengan fungsinya.
Bureau Veritas, sebuah organisasi yang sering di-hire oleh para operator pipa untuk melakukan testing, inspeksi, dan sertfikasi pipa, menyebutkan beberapa langkah awal dalam melaksanakan PIM, diantaranya:
  1. Policy and strategy. Posisi perusahaan saat ini, selanjutnya akan diarahkan kemana, dan apa yang dilakukan untuk mencapai target berikutnya.
  2. Methdology. Metode PIM yang digunakan; apakah menginginkan atau membutuhkan metode risk-basedthreat-based, consequence-based, atau yang lainnya.
  3. Mulai merencanakan pengumpulan data dan pemodelan jika dan hanya jika 2 tahap sebelumnya telah diidentifikasi/ditetapkan.
  4. System and tools. Ketika 3 tahap sebelumnya telah dilakukan, pilih alat (software) yang paling cocok digunakan.
  5. Study and analysis. Perencanaan inspeksi berdasarkan tools yang telah ditentukan.
  6. Inspection and expertise. Hasil inspeksi yang telah diperoleh kemudian dianalisis oleh para ahli di bidangnya. Informasi yang diperoleh akan digunakan pada review PIM rutin.
Pendekatan yang terbaik adalah melalui regulasi inspeksi dan mitigasi yang berlaku, bersamaan dengan identifikasi mengenai praktik internasional yang umum dilakukan, prosedur yang ada saat ini, usia asset yang dimiliki, dan kemampuan ahli yang dimiliki. Dapat dipilih antara kualitatif dengan kuantitatif, threat-based dengan damage-based, dan probabilistic dengan deterministic. Pendekatan dan metodologi yang cocok untuk satu operator belum tentu cocok dengan operator lainnya.
Managemen data sangat krusial dalam PIM. Data yang dimiliki harus akurat, lengkap, dan sesuai tujuan/kebutuhan. Ini memerlukan langkah ­step-by-step yang teliti. Dengan melakukan perencanaan PIM, kebutuhan data dapat dengan segera didefinisikan terkait format data, akurasi, dan frekuensi pengambilan data.
Begitu pula dengan pemilihan tools. Ketika timbul keinginan untuk menggunakan high-tech tools, yang terpenting adalah alat yang paling mudah digunakan untuk memonitor ‘kesehatan’ jaringan pipa dan dapat menunjukkan segmen pipa yang membutuhkan inspeksi atau mitigasi dengan segera berdasarkan tingkat resiko yang dimiliki.
Kemudian, dengan tools yang sudah dipilih, metodologi yang sudah ditetapkan dapat segera dilaksanakan untuk memeroleh data kondisi pipa eksisting. Tools dapat melakukan assessment pertama secepatnya. Mengapa ‘pertama’? Karena PIM merupakan pekerjaan yang berkelanjutan, dimana hasil pada assessment sebelumnya digunakan untuk meningkatkan assessment berikutnya.
Sejak tahap ini, kondisi pipa dapat diketahui, untuk kemudian ditentukan langkah inspeksi atau mitigasi yang harus dilakukan. Berbagai pertanyaan akan timbul. “Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi ancaman dan resiko pada pipa?’, “Apakah frekuensi inspeksi perlu ditingkatkan, atau sebuah langkah mitigasi perlu diambil, atau keduanya?.” Jawabannya harus berdasarkan kebijakan inspeksi dan mitigasi yang telah didefinisikan pada tahap pertama dari proses PIM.
Berbagai teknik inspeksi pipa telah tersedia saat ini, namun yang paling umum digunakan adalah magnetic flux leakage (MFL) dan ultrasonic testing (UT). Kedua metode tersebut termasuk dalam In-line Inspection (ILI), yaitu inspeksi bagian dalam pipa dengan cara memasukkan alat inspeksi (biasanya sebuah pig) langsung ke dalam jalur pipa. Provider ILI harus dipilih secara hati-hati dengan cara mengevaluasi kualifikasi yang mereka peroleh dan dikaitkan dengan kebutuhan proyek yang akan dilakukan.
Akhir kata, tahap paling krusial dalam proses PIM adalah analisis dari hasil-hasil yang telah diperoleh dan keahlian yang dibutuhkan dalam memeroleh informasi penting mengenai kondisi pipa saat ini. Karena PIM merupakan sebuah sistem yang berkelanjutan, maka PIM harus dibentuk sebagai suatu sistem managemen berkualitas tinggi.
Sumber:


Flexible Pipe

Flexible pipeline pertama diinstal sepanjang English Channel selama Perang Dunia ke 2 untuk mentransport bensin dari Inggris ke Perancis. Pipeline ini menggunakan prinsin fabrikasi yang sama dengan teknologi yang diterapkan pada kabel telegraf yang terdiri dari kabel tembaga yang dibungkus tape, kabel pelindung, dan outer sheath. Flexible pipeline yang lebih modern dikembangkan pada tahun 1970.
Penggunaan flexible pipeline meningkat secara drastis untuk flowline dengan diameter kecil dan jarak dekat.  Digunakan juga sebagai jumper dari wellhead dan wellhead manifold menuju rigid flowline. Digunakan juga sebagai expansion loop.
Walaupun harga material pipa ini sangat mahal, sekitar lima hingga enam kali lebih mahal dari steel pipe, pipa ini lebih murah dan lebih cepat untuk digelar dan dapat diinstal menggunakan barge yang dimodifikasi. Menggunakan Vessel khusus, flexible pipeline dapat digelar dengan rate 500m/ jam. Untuk daerah terpencil, ongkos mobilisasi lay barge konvensional dapat diminimalkan.
Flexible pipe terdiri dari beberapa lapisan metal dan lapisan thermoplastic. Setiap layer memiliki fungsi yang berbeda. Secara umum lapisan penting pada flexible pipe dari dalam ke luar terdirid dari : Carcass, the liner, Pressure containment, outer sheath.
image

  • Carcass
Carcass merupakan metal strip yang dibetuk secara spiral dan saling mengunci satu sama lain, dan bersifat permeable terhadap fluida yang ditransport. Carcass tidak kedap terhadap gas maupun fluid. Bagian liner yang mencegah fluida yang ditranspor untuk menyebar keluar pipa saat fluida ini menembus  carcass. Fungsi dari carcass adalah untuk mencegah pecahnya pipa thermoplastic sebagai akibat adanya gas expansion dan tekanan hydrostatic.
Carcas dibuat dari strip steel, yang dibuat dengan metode cold-formed menjadi bentuk S-shape yang mengunci satu sama lain. Tipikal steel yang biasa digunakan adalah jenis carbon steel AISI 4130, austenistic stainless steels AISI 304, 304L, 316, 316L, dan duplex stainless steel UNS S31803. 
  • The Liner
Liner merupakan lapisan pada flexible pipe yang dibuat dari bahan high-density polyethylene, nylon, dan fluorinated polymers. Factor yang mempengaruhi service life dari material ini adalah kerusakan yang terjadi akibat reaksi yang terjadi Antara komponen dan aliran fluida hydrocarbon. Operating temperature menjadi factor penentu seberapa besar rate kerusakan yang terjadi pada pipa ini. Operating temperature menjadi kunci penting dalam penentuan bahan jenis apa yang digunakan sebagai material pada flexible pipe. Untuk temperature rendah digunakan HDPE dan polyamide (nylon), kedua material ini cocok digunakan pada rentang operating temperature 65oC hingga 95oC.  untuk operating temperature yang lebih tinggi digunakan material yang lebih tahan suhu, yaitu polyvinyldifluoride (PVDF)
Berikut adalah tabel berisi properti material thermoplastic yang lazim digunakan sebagai material pembuatan liner.
image
  • Pressure Containment
Pressure Containment layer merupakan lapisan yang menyelubungi lapisan thermoplastic liner. Lapisan ini berfungsi untuk menahan tekanan hydrostatic eksternal selama instalasi berlangsung saat pipa dalam keadaan kosong. Biasanya lapisan pressure containment terdiri dari 2 buah layer untuk menahan gaya external dan menahan longitudinal extension.
Layer ini terbuat dari flat steel strips yang menyelubungi lapisan liner secara spiral maupun circular disepanjang flexible pipe. Ketebalan steel yang digunakan, diameter pipa, dan design pressure menentukan yield strength yang digunakan dalam flexible pipe. Nilai ultimate tensile strength dari steel yang digunakan berkisar 800 – 1400 MPa.
Lapisan ini secara elektrikal tersambung secara kontinu dan dilas pada bagian end fittingnya untuk memastikan kontinuitas aliran listrik. Aliran listrik pada lapisan steel ini digunakan sebagai bagian dari cathodic protection yang efektif digunakan disepanjang bentang pipeline.
  • Outer Sheath
Bagian Outer Sheath merupakan bagian terluar dari flexible pipe yang melindungi steel armour ( pressure containment layer ) dari korosi eksternal yang diakibatkan oleh air laut.  Bahan yang sering digunakan adalah HDPE karena memiliki adhesi yang baik, extensibility yang baik, tahan terhadap abrasi.
Sumber :https://www.geoilandgas.com/subsea-offshore/flexible-pipe-solutions

Vortex Induced Vibration (VIV)

Vortex Induced Vibration (VIV) merupakan fenomena getaran yang terjadi bila suatu benda berbentuk silinder dimasukkan ke dalam air, kemudian diberi arus terhadap benda tersebut. Akibat air yang menghantam benda tersebut timbullah vortex, yaitu semacam getaran-getaran acak di balik benda. Bila frekuensi vortex menyamai frekuensi alami benda, maka akan terjadi resonansi. Resonansi inilah yang menyebabkan benda tersebut bergetar.
44

Pada fenomena VIV, bukan gaya air yang menumbuk pipa yang menjadi permasalahan, melainkan getaran pada benda akibat resonansi. Mengapa demikian? Meskipun getaran tidak terlalu hebat, namun bila berlangsung terus-menerus dalam durasi waktu yang cukup lama, maka benda akan mengalami kelelahan, atau biasa disebutfatigue. Benda yang dibiarkan mengalami fatigue terlalu lama akan mengakibatkan kegagalan/failure pada benda tersebut.
Pada industry lepas pantai, benda yang rawan mengalami VIV adalah pipa bawah laut yang tidak tertopang (free span) dan riser pada platform.
Frekuensi vortex dapat dihitung menggunakan:
45             [Boyun Guo, 2005]
         dengan:           fv         = frekuensi vortex
                                S          = bilangan Strouhal
                                 U         = kecepatan arus air
                                 D         = diameter pipa terluar
Sedangkan frekuensi alami benda, dalam hal ini adalah pipa, dapat dihitung menggunakan:
46              [Boyun Guo, 2005]
         dengan:           fn         = frekuensi natural (alami) pipa
                                  C         = konstanta tumpuan
                                              = 9.87 untuk tumpuan pin-pin
                                              = 15.5 untuk tumpuan pin-jepit
                                              = 22.3 untuk tumpuan jepit-jepit
                                  E          = modulus etlastisitas pipa
                                   I           = momen inersia pipa
                                   Me       = massa efektif pipa
                                               = Mp + Mc + Ma
                                   Mp       = massa pipa, termasuk selimut per satuan panjang
                                   Mc       = massa isi/konten pipa per satuan panjang
                                   Ma       = massa tambahan per satuan panjang
                                                = 47
Terdapat beberapa hal penting mengenai VIV yang perlu diketahui pula:
  • Reduced Velocity (Ur)
Kecepatan arus akan berkurang pada lokasi terjadinya VIV.
48            [Boyun Guo, 2005]
  • Stability Parameter (Ks)
Parameter yang mengendalikan respon/gerakan pada pipa akibat vortex dapat didefinisikan menggunakan suatu konstanta (Ks).
49          [Boyun Guo, 2005]
        dengan:           δ          = logarithmic decreament of structural damping
                                            = 0.125
Berdasarkan arah getarannya, terdapat 2 jenis arah getar pada benda silinder, yaitu:
  1. In-line Oscillation
Arah getaran ini sejajar/segaris dengan arah datangnya gaya. Besar ampitudo getaranin-line tidak sampai 10% dari amplitude getaran cross-flow (akan dibahas berikutnya). Berdasarkan DNV RP-F105, jenis osilasi ini umumnya memiliki amplitude mendekati 0.2 D.
50
Ilustrasi in-line oscillation.
Sumber: : Introduction to Offshore Pipeline and Risers (Jaeyoung Lee, 2007)
51
Hubungan antara amplitudo dengan Ur pada in-line oscillation.
Sumber: : Introduction to Offshore Pipeline and Risers (Jaeyoung Lee, 2007)
  1. Cross-flow Oscillation
Arah getaran ini tegak lurus dengan arah datangnya gaya. Getaran ini lebih berbahaya dibanding getaran in-line karena memiliki amplitude yang jauh lebih besar, yaitu mendekati 1.4 D, berdasarkan DNV RP-F105.
52
Ilustrasi cross-flow oscillation.
Sumber: DNV RP-F105
53
Hubungan antara amplitude dengan Ur pada cross-flow oscillation
Sumber: DNV RP-F105
Sumber:
Introduction to Offshore Pipeline and Risers (Jaeyoung Lee, 2007)
Offshore Pipelines (Boyun Guo, 2005)
DnV RP-F105


Crack Detection in Gas Pipelines

In gas lines, however, the detection of crack-like defects incurs a high additional cost because the ultrasonic method requires a coupling liquid, and ultrasonic pigs can only be run with a liquid batch. A crack detection pig for gas pipelines was therefore urgently required. 

High pressure long distance pipelines transporting gas, crude oil or products are inspected by intelligent pigs for the location of defects. These inspections are an important contribution to the continued safe operation of these pipelines.
Typical defects are geometrical anomalies, metal loss and crack-like defects. Intelligent pigs are measuring robots which are propelled through the pipeline to detect defects, using appropriate measuring techniques.

For geometrical anomalies, pigs with mechanical sensors have been used for many years. It is customary to inspect new pipelines with calliper pigs prior to commissioning.
In the 1970s metal loss (corrosion) was the type of anomaly that caused the development of the first intelligent pigs. For metal loss two technologies are customarily used: the ultrasonic method, which measures the wall thickness directly, or the magnetic flux leakage (MFL) method, which responds to the change of the magnetic field in the presence of metal loss.
The ultrasonic method is the more accurate method, but a coupling liquid is required to apply the ultrasonic pulse to the pipe wall. It is therefore mainly used in liquid pipelines. The MFL method, on the other hand, does not require a coupling liquid and is therefore the preferred method for gas pipelines. Both types of instrument have been operated for many years and play a central role in the upkeep and maintenance of high pressure long distance pipelines.
During the 1990s longitudinal crack like defects began to appear additionally in more and more pipelines causing serious problems. This led to the development of a new generation of crack detection pigs.
Types of Cracks
Even though isolated fatigue cracks have been seen since the 1970s, it was the increased appearance of stress corrosion cracking (SCC) defects in the 1990s that led to some spectacular pipeline failures in Russia and North America. Figure 1 shows typical SCC colony.
SCC develops in pipelines under narrowly defined conditions. These include: susceptibility of the steel, moisture of the soil, soil chemistry, quality of the coating, variable stress and highly increased temperatures. SCC first appeared in the above mentioned areas mainly in high pressure pipelines directly downstream of compressor stations and now also occurs more and more often in liquid pipelines, even though these lines do not display increased temperatures.
Apart from SCC, metal fatigue cracks are becoming increasingly common, mainly due to the increasing accumulated number of pressure cycles in the aging pipeline population.
Cracks, which influence the structural integrity of the pipeline, are mainly longitudinally orientated, caused by the predominant stress distribution in the steel. Fatigue cracks can grow both from the internal or the external surface of the wall. Because of the growth mechanism, SCC cracks are external defects.

Batching with UltraScan CD
In the early 1990s the UltraScan CD crack detection pig was developed by GE Energy. It uses angular beam ultrasonic technology to detect longitudinal cracks. The sensors operate in the immersion mode, the transported fluid is used as coupling liquid.
The basic principle is demonstrated in Figure 2. The angular ultrasonic beam is reflected to and fro between the two surfaces at an angle of 45°. If the signal is reflected by a crack it travels back along the same path and is received by the same sensor as the echo signal. The appearance of the echo signal along the time coordinate indicates whether the crack is located internally or externally. As the tool is designed to detect longitudinal cracks the sensors are slanted with circumferential orientation to allow the beam to travel through the wall perpendicular to the longitudinal direction. In order to scan each defect from both sides two sets of sensors are employed, one operating clockwise, the other in an anti-clockwise direction. Each ultrasonic pulse is monitored up to two and a half full reflections (skips), meaning each crack is seen by several sensors from different distances. This results in a redundancy of information which is important to guarantee a reliable detection of the cracks and to differentiate between real cracks and harmless small inclusions in the material.
The multitude of sensors are mounted on the sensor carrier so that the entire pipe circumference is scanned in one pass (Fig. 3). The effective distance between sensors in circumferential direction is about 10 mm. The individual skids of the sensor carrier are mounted in such a way that geometric irregularities of the pipe are compensated and the sensors are always locally orientated with the right angle to the wall.
During the inspection, large amounts of data are generated. During the travel of a 24 inch UltraScan® CD tool through a 100 km long pipeline, 100 terra bytes of primary data are generated. The data is screened in real time for signals relating to crack like defects and only those signals are stored in the on board solid state memory. To achieve this, the most advanced FPGA electronic components are employed in the tool.
The UltraScan® CD detects all defects of 25 mm minimum length and 1 mm minimum depth. The data is displayed as a coloured area scan (C-Scan). The colour displays the intensity of the reflected signal according to the colour code. The intensity of the signal is an indication of the depth of the defect (Figure 4). UltraScan CD tools have inspected more than 15 000 km of pipeline since their introduction in 1994 and detected a total of 3000 SCC colonies and over 700 fatigue cracks.
The ultrasonic technology is established as the industry’s most reliable and accurate method to detect cracks. In liquid pipelines the UltraScan® CD can be applied directly in the transported medium. This is not the case in gas pipelines, because the coupling liquid is not readily available. To inspect a gas pipeline reliably for cracks the UltraScan® CD tool has been run in a liquid batch in recent years. 

Sumber : 
http://pipeliner.com.au/news/crack_detection_in_gas_pipelines/043294/